Merupakan masjid Kerajaan Luwu yang didirikan oleh Raja Luwu yang
bernama Datu Payung Luwu XVI Pati
Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe pada tahun 1604 M. Masjid yang
memiliki luas 15 m2 ini diberi nama Tua, karena usianya yang sudah tua.
Sedangkan nama Palopo diambil dari kata dalam bahasa Bugis dan Luwu yang
memiliki dua arti, yaitu: pertama, penganan yang terbuat dari campuran
nasi ketan dan air gula; kedua,
memasukkan pasak dalam lubang tiang bangunan.
Kedua makna ini memiliki relasi dengan proses pembangunan Masjid Tua Palopo ini.
Sebagian
masyarakat percaya bahwa bagi orang yang datang ke Kota Palopo, belum dikatakan
resmi menginjakkan kaki di kota ini apabila belum menyentuh tiang utama MasjidTua Palopo yang terbuat dari pohon Cinaduri, serta dinding tembok yang
menggunakan bahan campuran dari putih telur. Oleh karena itu, masjid ini tidak
pernah sepi dari jemaah, khususnya pada bulan Ramadhan. Pada bulan tersebut,
setiap selesai shalat dhuhur hingga menjelang berbuka puasa, biasanya para
jamaah tetap tinggal di masjid untuk mengaji, tadarrus Alquran, dan berzikir.
Jamaah yang datang bukan hanya warga Kota Palopo, tetapi banyak juga yang
datang dari kabupaten tetangga, seperti Luwu, Luwu Utara, Sidrap, dan Wajo.
Masjid
Tua Palopo ini sudah beberapa kali direnovasi. Meskipun demikian, bentuk
artsitekturnya tidak banyak mengalami perubahan. Untuk pemeliharaan dan
pengelolaannya, pemerintah daerah setempat telah mengalokasikan dana ABPD
setiap tahunnya, yaitu berupa honor untuk karyawan, guru mengaji dan tiga imam.
Selain mendapat honor, para pengelola masjid tersebut juga mendapat tunjangan
fasilitas berupa pemanfaatan air PDAM secara
gratis.
Arsitektur
Masjid Tua Palopo ini sangat unik. Ada empat unsur penting yang bersebati
(melekat) dalam konstruksi masjid tua ini, yaitu unsur lokal Bugis, Jawa, Hindu
dan Islam.
Pertama,
unsur lokal Bugis. Unsur ini terlihat pada struktur bangunan masjid secara
keseluruhan yang terdiri dari tiga susun yang mengikuti konsep rumah panggung.
Konsep tiga susun ini juga konsisten diterapkan pada bagian lainnya, seperti
atap dan hiasannya yang terdiri dari tiga susun; tiang penyangga juga terdiri
dari tiga susun, yaitu pallanga (umpak), alliri possi (tiang pusat) dan soddu;
dinding tiga susun yang ditandai oleh bentuk pelipit (gerigi); dan pewarnaan
tiang bangunan yang bersusun tiga dari atas ke bawah, dimulai dari warna hijau,
putih dan coklat.
Kedua,
unsur Jawa. Unsur ini terlihat pada bagian atap, yang dipengaruhi oleh atap
rumah joglo Jawa yang berbentuk piramida bertumpuk tiga atau sering disebut tajug. Dua tumpang atap pada bagian
bawah disangga oleh empat tiang, dalam konstruksi Jawa sering disebut sokoguru.
Sedangkan atap piramida paling atas disangga oleh kolom (pilar) tunggal dari
kayu cinna gori (Cinaduri) yang berdiameter 90 centimeter. Pada puncak atap
masjid, terdapat hiasan dari keramik berwarna biru yang diperkirakan berasal
dari Cina.
Ketiga,
unsur Hindu. Unsur ini terlihat pada denah masjid yang berbentuk segi
empat yang dipengaruhi oleh konstruksi candi. Pada dinding bagian bawah,
terdapat hiasan bunga lotus, mirip dengan hiasan di Candi Borobudur. Pada
dinding bagian atas juga terdapat motif alur yang mirip dengan hiasan candi di Jawa.
Keempat,
unsur Islam. Unsur ini terlihat pada jendela masjid, yaitu terdapat lima terali
besi yang berbentuk tegak, yang melambangkan jumlah shalat wajib dalam sehari
semalam. Masjid Tua Palopo terletak di
Kota Palopo.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah berkunjung ke blog saya, silahkan tinggalkan komentar